Jakarta Pentas 'Matah Ati' yang diperuntukkan bagi undangan khusus di Teater Jakarta, TIM, Kamis (12/5/2011) malam mengejutkan banyak orang. Terutama, bagi mereka yang selama ini lebih akrab dengan pertunjukan opera klasik Barat atau pentas-pentas musikal ala Broadway. "Lho, ternyata budaya Jawa punya yang kayak gini, tho?" begitulah kira-kira gumam kekaguman yang terdengar.
Kendati dibungkus dengan gamelan Jawa dan tari tradisional keraton Mangkunegaran, namun adegan demi adegan dalam 'Matah Ati' memang mengingatkan orang pada pakem opera Barat. Lagi-lagi, penonton yang lebih khatam dengan Opera 'Turandot' dibanding bentuk-bentuk kesenian tradisional Jawa macam ketoprak dan wayang orang, sudah pasti akan menjerit-njerit, "Wow, ternyata Jawa sudah punya opera sejak dulu!"
Histeria-histeria semacam itu bagai pisau bermata dua. Membanggakan, namun sekalius sebenarnya memprihatinkan, bahwa selama ini banyak orang tidak tahu, opera punya akar dalam budaya bangsa sendiri. Haruskah 'Matah Ati' menjadi bagus setelah orang --dengan referensi Barat-- dengan sah melabelinya sebagai "opera"? Bagaimana kalau orang tetap menamainya sebagai, misalnya, sendratari, atau langendriyan, atau bahkan ketoprak kontemporer?
Tanpa harus dicari kesesuaiannya dengan pakem opera Barat, 'Matah Ati' akan dan tetap menjadi pertunjukan yang spektakuler, terutama dan pertama-tama dari segi artistik. Panggung dengan kemiringan 15 derajat yang dirancang oleh Jay Subiyakto, dengan pintu hidrolik di bagian tengahnya, merupakan kunci dari keindahan pertunjukan ini. Pintu itu bisa berfungsi sebagai tempat keluarnya para penari, namun pada saat yang lain bisa juga untuk menampilkan efek cahaya tambahan.
Meskipun para penari menjadi lebih sulit untuk bergerak, namun panggung miring itu memungkinkan kolosalitas 'Matah Ati' bisa disaksikan dari berbagai sudut dengan mengangumkan. Itu belum bicara tentang kostum dan pencahayaan yang menjadikan pertunjukan ini begitu glamor, agung dan mistis. Selama hampir dua jam penonton benar-benar dimanjakan dengan visualisasi yang mengundang decak, dengan kejutan dari unsur properti di sana-sini. Meriah dan penuh warna.
Dibalut dengan iringan musik gamelan, segala kemeriahan tadi membingkai sebuah jalan cerita yang dituturkan lewat tarian keraton dan tembang. Kisahnya berpusat pada perempuandari Rubiyah yang hidup di desa Matah, wilayah kerajaan Surakarta, Jawa abad ke-18. Kagum oleh pemberontakan yang dikobarkan oleh Pangeran Sambernyowo terhadap VOC, Rubiah pun berangkat ke kota untuk melamar jadi perajurit perempuan.
Tertuang dalam 17 adegan, 'Matah Ati' mengikuti perjalanan Rubiyah hingga diperistri oleh sang pangeran. Satu per satu adegan ditampilkan dengan ringkas, padat dan dengan efektif membuat persambungannya dengan adegan berikutnya, mengikuti pakem kesenian Jawa umumnya. Ada adegan istana, adegan pedesaan yang melukiskan kehidupan rakyat jelata, adegan peperangan, hingga bagian "goro-goro" untuk menurunkan ketegangan.
Kendati menggunakan pendekatan langendriyan, sebuah bentuk kesenian Jawa yang lahir dari "budaya elit" keraton, namun secara keseluruhan 'Matah Ati' dikemas dengan cukup populer, sehingga enak dan mudah diikuti. Pertunjukan 'Matah Ati' sendiri memang lahir dari lingkungan keraton Mangkuneragan. Atila Soeryadjaya selaku penggagas, sekaligus sutradara dan koreografer, adalah cucu Mangkunogoro VII.
Tari bedoyo, dan bentuk-bentuk tari-tarian klasik keraton yang adiluhung lainnya menjadi dasar dari pertunjukan ini, namun dikompromikan dengan gerak-gerak dari khasanah tari modern. Di tengah parade dan arak-arakan tari yang lembut-gemulai, unsur lawak masuk lewat adegan "goro-goro", yang dengan mengejutkan menampilkan 4 tokoh nenek, dan bukannya tokoh laki-laki sebagaimana lazimnya. Pada bagian inilah, kesempatan untuk memasukkan isu-isu sosial-politik aktual lewat sindiran-sindiran.
Unsur "goro-goro" selalu penting dalam kesenian Jawa. Garin Nugroho lewat musikal 'Tusuk Konde' juga memasukkan unsur itu. Jauh sebelum itu, penari Sardono W Kusumo juga pernah melakukannya lewat karyanya yang terkenal, 'Opera Diponegoro'. Jawa dan opera memang bukanlah dua subjek yang saling asing, dan "goro-goro" menjadi ciri khas opera (gaya) Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari, opera Jawa tak lain adalah ketoprak, sebuah teater rakyat yang kini hidup dengan bergerilya di tobong-tobong dan taman hiburan rakyat yang murah.
'Matah Ati' adalah ketoprak modern, yang lahir dari perkawinan antara seni kontemporer dan budaya tinggi keraton, dan dikemas dengan marketing profesional. Karya ini diperkenalkan pertama kali ke hadapan publik di Teater Esplanade, Singapura, 22-23 Desember 2010. Kini, publik di Tanah Air bisa menyaksikannya lewat pementasan selama 4 hari, di Teater Jakarta, TIM mulai Jumat (13/5/2011) hingga Senin (16/5) setiap pukul 20.00 WIB.
Kendati dibungkus dengan gamelan Jawa dan tari tradisional keraton Mangkunegaran, namun adegan demi adegan dalam 'Matah Ati' memang mengingatkan orang pada pakem opera Barat. Lagi-lagi, penonton yang lebih khatam dengan Opera 'Turandot' dibanding bentuk-bentuk kesenian tradisional Jawa macam ketoprak dan wayang orang, sudah pasti akan menjerit-njerit, "Wow, ternyata Jawa sudah punya opera sejak dulu!"
Histeria-histeria semacam itu bagai pisau bermata dua. Membanggakan, namun sekalius sebenarnya memprihatinkan, bahwa selama ini banyak orang tidak tahu, opera punya akar dalam budaya bangsa sendiri. Haruskah 'Matah Ati' menjadi bagus setelah orang --dengan referensi Barat-- dengan sah melabelinya sebagai "opera"? Bagaimana kalau orang tetap menamainya sebagai, misalnya, sendratari, atau langendriyan, atau bahkan ketoprak kontemporer?
Tanpa harus dicari kesesuaiannya dengan pakem opera Barat, 'Matah Ati' akan dan tetap menjadi pertunjukan yang spektakuler, terutama dan pertama-tama dari segi artistik. Panggung dengan kemiringan 15 derajat yang dirancang oleh Jay Subiyakto, dengan pintu hidrolik di bagian tengahnya, merupakan kunci dari keindahan pertunjukan ini. Pintu itu bisa berfungsi sebagai tempat keluarnya para penari, namun pada saat yang lain bisa juga untuk menampilkan efek cahaya tambahan.
Meskipun para penari menjadi lebih sulit untuk bergerak, namun panggung miring itu memungkinkan kolosalitas 'Matah Ati' bisa disaksikan dari berbagai sudut dengan mengangumkan. Itu belum bicara tentang kostum dan pencahayaan yang menjadikan pertunjukan ini begitu glamor, agung dan mistis. Selama hampir dua jam penonton benar-benar dimanjakan dengan visualisasi yang mengundang decak, dengan kejutan dari unsur properti di sana-sini. Meriah dan penuh warna.
Dibalut dengan iringan musik gamelan, segala kemeriahan tadi membingkai sebuah jalan cerita yang dituturkan lewat tarian keraton dan tembang. Kisahnya berpusat pada perempuandari Rubiyah yang hidup di desa Matah, wilayah kerajaan Surakarta, Jawa abad ke-18. Kagum oleh pemberontakan yang dikobarkan oleh Pangeran Sambernyowo terhadap VOC, Rubiah pun berangkat ke kota untuk melamar jadi perajurit perempuan.
Tertuang dalam 17 adegan, 'Matah Ati' mengikuti perjalanan Rubiyah hingga diperistri oleh sang pangeran. Satu per satu adegan ditampilkan dengan ringkas, padat dan dengan efektif membuat persambungannya dengan adegan berikutnya, mengikuti pakem kesenian Jawa umumnya. Ada adegan istana, adegan pedesaan yang melukiskan kehidupan rakyat jelata, adegan peperangan, hingga bagian "goro-goro" untuk menurunkan ketegangan.
Kendati menggunakan pendekatan langendriyan, sebuah bentuk kesenian Jawa yang lahir dari "budaya elit" keraton, namun secara keseluruhan 'Matah Ati' dikemas dengan cukup populer, sehingga enak dan mudah diikuti. Pertunjukan 'Matah Ati' sendiri memang lahir dari lingkungan keraton Mangkuneragan. Atila Soeryadjaya selaku penggagas, sekaligus sutradara dan koreografer, adalah cucu Mangkunogoro VII.
Tari bedoyo, dan bentuk-bentuk tari-tarian klasik keraton yang adiluhung lainnya menjadi dasar dari pertunjukan ini, namun dikompromikan dengan gerak-gerak dari khasanah tari modern. Di tengah parade dan arak-arakan tari yang lembut-gemulai, unsur lawak masuk lewat adegan "goro-goro", yang dengan mengejutkan menampilkan 4 tokoh nenek, dan bukannya tokoh laki-laki sebagaimana lazimnya. Pada bagian inilah, kesempatan untuk memasukkan isu-isu sosial-politik aktual lewat sindiran-sindiran.
Unsur "goro-goro" selalu penting dalam kesenian Jawa. Garin Nugroho lewat musikal 'Tusuk Konde' juga memasukkan unsur itu. Jauh sebelum itu, penari Sardono W Kusumo juga pernah melakukannya lewat karyanya yang terkenal, 'Opera Diponegoro'. Jawa dan opera memang bukanlah dua subjek yang saling asing, dan "goro-goro" menjadi ciri khas opera (gaya) Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari, opera Jawa tak lain adalah ketoprak, sebuah teater rakyat yang kini hidup dengan bergerilya di tobong-tobong dan taman hiburan rakyat yang murah.
'Matah Ati' adalah ketoprak modern, yang lahir dari perkawinan antara seni kontemporer dan budaya tinggi keraton, dan dikemas dengan marketing profesional. Karya ini diperkenalkan pertama kali ke hadapan publik di Teater Esplanade, Singapura, 22-23 Desember 2010. Kini, publik di Tanah Air bisa menyaksikannya lewat pementasan selama 4 hari, di Teater Jakarta, TIM mulai Jumat (13/5/2011) hingga Senin (16/5) setiap pukul 20.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar